BTQ & Ibadah Praktis: Ujian Unik ala FPH

Alhamdulillah, pelaksanaan Ujian Serentak Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ) dan Praktik Ibadah Praktis di Fakultas Psikologi dan Humaniora telah berjalan dengan sukses. Kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen FPH untuk menciptakan pengalaman belajar yang tidak hanya berbasis akademik, tetapi juga memperkuat kompetensi spiritual mahasiswa.

Ujian ini mencakup berbagai aspek penting, seperti membaca Al-Qur’an dengan tartil, hafalan surat-surat pendek, hafalan doa sehari-hari, serta praktik ibadah, seperti wudhu, tayamum, shalat jenazah, dan tata cara shalat lainnya yang sesuai dengan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Semua ini dirancang untuk membentuk mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kokoh dalam nilai-nilai keislaman.

Yang membuat kegiatan ini semakin berkesan adalah adanya kompetensi tambahan melalui kegiatan Jamaah Lotisan FPH. Mahasiswa diajak menunjukkan kreativitas mereka dengan membuat lotis, sebuah sajian tradisional berbahan buah-buahan segar. Aktivitas ini tidak hanya menambah kehangatan suasana, tetapi juga menjadi momen kebersamaan yang penuh keceriaan dan semangat kolaborasi antar mahasiswa.

Metode ujian seperti ini menjadi salah satu ciri khas unik yang hanya ada di FPH. Terima kasih kepada seluruh peserta, panitia, dan pihak yang telah berkontribusi dalam menyukseskan acara ini. Semoga ilmu dan pengalaman yang diperoleh dapat menjadi bekal berharga untuk kehidupan di dunia dan akhirat.

RESENSI BUKU

Oleh: Veronica Adev Jacia (Mahasiswa Psikologi Unimma Angkatan 2024)

Judul Buku: Psikologi Agama dan Spiritualitas: Memahami Perilaku Beragama dalam Perspektif Psikologi
Penulis: Prof. Dr. H. Endin Nasrudin, Drs., M.Si. dan Dr. Ujam Jaenudin, Drs., M.Si.
Penerbit: Lagood’s Publishing
Tempat Terbit: Indonesia
Edisi: Cetakan Pertama, September 2021
Jumlah Halaman: xii + 217
ISBN: 978-602-52294-9-7

Buku Psikologi Agama dan Spiritualitas adalah sebuah karya yang mencoba membuka wawasan tentang bagaimana agama dan spiritualitas mempengaruhi perilaku manusia. Ditulis oleh Prof. Dr. H. Endin Nasrudin dan Dr. Ujam Jaenudin, buku ini mengusung perspektif psikologi untuk memandang fenomena keberagamaan yang sering kali dianggap sebagai sesuatu yang hanya bersifat teologis. Melalui pendekatan psikologi agama, buku ini menawarkan pemahaman yang lebih dalam tentang keterkaitan antara perilaku keagamaan dengan faktor-faktor psikologis yang mempengaruhinya.

Keberadaan buku ini sangat relevan dalam memberikan perspektif yang lebih ilmiah dan rasional mengenai perilaku beragama, khususnya dalam konteks psikologi yang dapat dipelajari dengan pendekatan yang lebih objektif dan empiris. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat agama tidak hanya sebagai sebuah keyakinan yang diterima tanpa pertanyaan, tetapi juga sebagai sebuah fenomena psikologis yang mempengaruhi kehidupan individu dan komunitas. Secara keseluruhan, buku ini bertujuan untuk memperkenalkan psikologi agama sebagai bidang kajian yang memadai untuk memahami perilaku beragama dengan cara yang lebih mendalam dan terstruktur.

Bab pertama buku ini mengajak pembaca untuk memahami apa itu psikologi agama dengan menjelaskan pengertian dasar psikologi dan agama secara terpisah. Menurut penulis, psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia, sedangkan agama lebih berkaitan dengan sistem keyakinan dan tindakan manusia yang berhubungan dengan kekuatan atau kekuasaan yang lebih tinggi. Psikologi agama, menurut buku ini, merupakan penyatuan dari kedua bidang ilmu tersebut yang berfokus pada bagaimana agama mempengaruhi perilaku dan kondisi psikologis individu.

Penulis menekankan bahwa meskipun agama sering dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar ranah empiris dan objektif, namun perilaku beragama yang tampak pada individu dan kelompok dapat dianalisis secara psikologis. Oleh karena itu, untuk memahami psikologi agama, perlu dilihat bagaimana agama mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan, seperti keyakinan, perilaku, dan pengalaman subyektif seseorang. Bab ini memberikan landasan teoritis yang kuat tentang pentingnya perspektif psikologi dalam kajian agama.

Bab kedua lebih fokus pada konsep spiritualitas dalam psikologi agama. Di sini, penulis membedakan antara religiusitas dan spiritualitas, dua konsep yang sering kali dianggap serupa namun memiliki perbedaan yang mendalam. Spiritualitas, menurut penulis, lebih mengarah pada pengalaman batin dan pencarian makna hidup yang melibatkan hubungan pribadi dengan Tuhan atau kekuatan transenden lainnya. Sementara religiusitas lebih mengarah pada pengamalan ajaran agama yang terstruktur, baik dalam praktik ibadah maupun aturan-aturan yang ditetapkan oleh komunitas agama.

Pentingnya spiritualitas dalam psikologi agama ditekankan melalui pembahasan tentang bagaimana pencarian makna hidup ini tidak hanya dipengaruhi oleh ajaran agama tetapi juga oleh kondisi psikologis individu yang bersangkutan. Buku ini menjelaskan bagaimana spiritualitas menjadi elemen yang sangat penting dalam pembentukan identitas dan kesejahteraan psikologis individu. Oleh karena itu, spiritualitas bukan hanya sebuah pengalaman religius tetapi juga pengalaman psikologis yang memberikan dampak besar terhadap cara seseorang menghadapi kehidupan.

Pada bab ketiga, penulis mengulas tentang berbagai metode yang digunakan dalam penelitian psikologi agama. Metode-metode ini bertujuan untuk mengukur dan mengamati gejala-gejala keagamaan dalam konteks psikologi yang lebih sistematis. Penulis juga menyarankan pendekatan multidisipliner dalam mengkaji psikologi agama, mengingat kompleksitas interaksi antara agama dan psikologi yang tidak dapat dipahami hanya dari satu sudut pandang.

Buku ini menguraikan beberapa teknik pengukuran religiusitas yang sering digunakan dalam penelitian psikologi agama, seperti skala religiusitas dan analisis tingkah laku keagamaan. Penulis juga menyentuh tentang pentingnya mempertimbangkan aspek etika dalam penelitian psikologi agama, terutama terkait dengan masalah sensitivitas budaya dan keyakinan individu.

Buku ini kemudian melanjutkan pembahasan dengan mengangkat urgensi agama dalam kehidupan sosial. Bab ini mengulas bagaimana agama tidak hanya berperan dalam kehidupan individu, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Penulis berpendapat bahwa agama memberikan dasar moral dan nilai yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat. Agama, menurut buku ini, memiliki peran penting dalam menciptakan ketertiban sosial dan mengarahkan umat manusia untuk hidup dalam keharmonisan.

Agama memberikan petunjuk bagi umat manusia dalam memahami tujuan hidup, hakikat penderitaan, dan keberadaan Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman yang benar terhadap agama sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera. Penulis juga menekankan bahwa konflik sosial yang sering terjadi dalam masyarakat tidak jarang disebabkan oleh pemahaman agama yang salah atau manipulasi ajaran agama untuk kepentingan tertentu.

Pada bab lima, penulis menjelaskan tentang bagaimana faktor lingkungan, seperti keluarga, pendidikan, dan komunitas, mempengaruhi perkembangan agama pada individu. Buku ini mengulas perkembangan agama dari masa kanak-kanak hingga lanjut usia, dengan menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan seseorang pada setiap tahap kehidupannya.

Penulis juga membahas pentingnya pendidikan agama dalam membentuk keyakinan anak-anak dan remaja, serta peran lingkungan sosial dalam mengembangkan pemahaman agama yang lebih matang pada usia dewasa. Bab ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana agama berkembang dalam konteks sosial dan budaya yang melingkupi individu.

Bab terakhir ini membahas berbagai masalah yang sering muncul dalam kajian psikologi agama, termasuk konversi agama, penyimpangan dalam beragama, dan masalah psikologis yang terkait dengan pengalaman religius. Penulis mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku beragama seseorang, seperti trauma, konflik internal, dan ketegangan sosial. Buku ini juga menyarankan bahwa pemahaman yang baik terhadap psikologi agama dapat membantu individu dalam mengatasi masalah-masalah psikologis yang timbul akibat keyakinan agama yang tidak sehat.

Buku Psikologi Agama dan Spiritualitas karya Ujam Jaenudin dan Endin Nasrudin memberikan wawasan yang mendalam mengenai hubungan antara agama, spiritualitas, dan psikologi. Buku ini menyarankan bahwa pemahaman tentang perilaku beragama tidak hanya bisa dilihat dari sudut pandang teologis atau sosial semata, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek psikologis yang mendalam. Agama, dalam perspektif psikologi, tidak hanya berfungsi sebagai sistem keyakinan, tetapi juga sebagai pengaruh yang membentuk cara berpikir, perasaan, dan perilaku seseorang. Sebagai penutup, kita bisa merenungkan ungkapan yang terdapat dalam buku ini:
“Beragama dengan baik, tidak cukup dengan pengamalan, tapi juga membutuhkan pengalaman. Pengamalan ajaran yang tidak diiringi dengan pengalaman subjektif keagamaan, adalah beragama tanpa makna. Agama pasti mengajarkan kebaikan. Jika perilaku umatnya masih buruk atau jahat, maka dapat dipastikan pemahamannya yang salah, atau kejiwaannya yang terganggu.”

[/et_pb_text][/et_pb_column]
[/et_pb_row]
[/et_pb_section]

RESENSI BUKU

Oleh: Veronica Adev Jacia (Mahasiswa Psikologi Unimma Angkatan 2024)

Judul Buku: Landasan Psikologis Pendidikan Islam
Penulis: Syihabuddin
Penerbit: Universitas Pendidikan Indonesia
Kota Terbit: Bandung
Edisi: Cetakan pertama, 2013
Jumlah Halaman: 203 halaman
Ukuran Buku: 14 cm x 21 cm

Buku Landasan Psikologis Pendidikan Islam karya Syihabuddin ini hadir sebagai upaya mendalami fondasi psikologis yang mendasari pendidikan dalam Islam. Buku ini menggali berbagai dimensi psikologi manusia dalam konteks pendidikan Islam, serta menghubungkannya dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Melalui tujuh bab yang sistematis dan komprehensif, penulis berusaha memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai bagaimana keimanan dan fitrah manusia menjadi landasan yang kokoh dalam membentuk sistem pendidikan yang efektif dan berkarakter.

Bab pertama dalam buku ini mengawali pembahasan dengan menjelaskan urgensi pemahaman landasan psikologis dalam pendidikan Islam. Penulis menekankan bahwa pendidikan dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan kognitif, tetapi juga untuk membentuk karakter dan keimanan peserta didik. Keimanan kepada Tuhan menjadi fondasi yang mendasari segala bentuk pendidikan dalam Islam, karena pendidikan tidak hanya dilihat sebagai proses transfer ilmu semata, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup, baik di dunia maupun akhirat.

Pentingnya landasan psikologis ini adalah agar pendidik dapat memahami dan menyadari berbagai aspek dalam perkembangan individu, baik fisik, mental, maupun spiritual. Dengan memahami psikologi manusia, pendidikan Islam diharapkan dapat menyentuh berbagai dimensi kehidupan manusia, yang pada akhirnya membentuk individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki akhlak mulia dan keimanan yang teguh.

Bab kedua mengajak pembaca untuk melihat perbandingan antara masyarakat jahiliah dan masyarakat yang beriman setelah kedatangan Islam. Penulis menggambarkan bagaimana masyarakat jahiliah hidup dalam ketidaktahuan mengenai konsep ketuhanan, moralitas, dan etika kehidupan. Masyarakat jahiliah dipenuhi dengan kebodohan, keserakahan, dan tindakan yang bertentangan dengan fitrah manusia. Dalam konteks ini, pendidikan dalam Islam hadir sebagai sarana yang mampu mengubah kejahilan tersebut menuju masyarakat yang berlandaskan pada keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

Penulis menggambarkan peran penting Rasulullah SAW sebagai pendidik utama yang mampu membawa perubahan besar dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Dengan pendidikan yang berbasis pada wahyu, Rasulullah mengajarkan umat untuk kembali kepada fitrah mereka, mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Transformasi ini, menurut penulis, merupakan contoh yang jelas betapa pentingnya pendidikan yang mengutamakan pembinaan akhlak dan keimanan.

Bab ini mengulas prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pendidikan Islam. Penulis menjelaskan bahwa pendidikan Islam tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan intelektualitas peserta didik, tetapi juga untuk membentuk karakter yang baik. Dalam pendidikan Islam, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah menjadi dasar bagi setiap aspek pendidikan, mulai dari tujuan hingga metode yang digunakan.

Salah satu prinsip utama yang ditekankan penulis adalah bahwa pendidikan Islam harus mengedepankan nilai-nilai keimanan, etika, dan karakter. Pendidikan yang baik adalah yang mengarahkan peserta didik untuk tidak hanya menjadi pribadi yang pintar, tetapi juga individu yang dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan Islam, setiap kegiatan pembelajaran harus mengarah pada pembentukan akhlak yang baik, kepedulian terhadap sesama, serta rasa tanggung jawab terhadap agama, masyarakat, dan negara.

Bab IV mengungkapkan konsep tentang manusia menurut Islam, yang berbeda dari pandangan-pandangan lainnya. Dalam pandangan Islam, manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki potensi luar biasa, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Manusia diciptakan oleh Allah dengan berbagai kelebihan yang harus dikembangkan melalui pendidikan. Penulis mengajak pembaca untuk memahami bahwa setiap individu memiliki fitrah yang harus diarahkan dengan baik agar menjadi pribadi yang utuh, yaitu yang cerdas secara intelektual, kuat dalam iman, dan luhur dalam akhlaknya.

Penulis juga membahas tentang pentingnya memahami struktur psikologis manusia, yang melibatkan berbagai aspek seperti akal, perasaan, dan kehendak. Ketiga unsur ini harus seimbang dalam setiap proses pendidikan agar dapat menghasilkan individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana dalam bertindak dan berperasaan.

Bab kelima membahas daya manusia dalam berpikir dan berperilaku. Penulis merujuk pada pemikiran para ahli psikologi Islam, seperti Al-Gazali dan Al-Qabasi, untuk menjelaskan bagaimana mekanisme berpikir dan berperilaku manusia menurut perspektif Islam. Pendidikan dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga untuk mengembangkan daya pikir dan kemampuan berperilaku yang baik.

Penulis mengaitkan proses berpikir dengan peran hati nurani, yang menurut Al-Gazali, harus menjadi penuntun bagi akal dalam mengambil keputusan. Berpikir yang baik, menurut penulis, adalah berpikir yang dilandasi dengan akhlak yang luhur dan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam harus mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, tetapi tetap berada dalam koridor etika dan moral yang ditentukan oleh ajaran Islam.

Bab ke enam membahas hirarki dalam pendidikan Islam, yang dimulai dengan Allah sebagai pendidik utama, Nabi Muhammad SAW sebagai teladan, dan guru sebagai pelaksana pendidikan. Penulis menekankan bahwa pendidikan yang sesungguhnya berasal dari Tuhan, dan segala pengetahuan di dunia ini merupakan bagian dari wahyu-Nya. Guru, sebagai pendidik manusia, memiliki peran penting dalam mengarahkan peserta didik agar tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mampu meneladani akhlak dan perilaku Rasulullah SAW.

Pendidikan dalam Islam, menurut penulis, merupakan upaya untuk mengarahkan manusia agar mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan, menjadi pribadi yang bermanfaat bagi umat, dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pendidik harus memiliki kesadaran tinggi tentang peran penting mereka dalam membentuk generasi yang berkualitas.

Pada bab terakhir, penulis mengemukakan model pembelajaran M-3, yang terdiri dari tiga komponen utama: Munazharah (diskusi), Mudzakarah (berbagi ilmu), dan Muhasabah (evaluasi diri). Model ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang interaktif dan reflektif, di mana peserta didik tidak hanya mendengarkan materi, tetapi juga aktif dalam bertanya, berdiskusi, dan melakukan evaluasi terhadap diri mereka sendiri.

Penulis menjelaskan bahwa model ini dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif peserta didik. Melalui diskusi dan berbagi ilmu (Mudzakarah), peserta didik dapat memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman mereka tentang suatu topik. Sementara itu, Muhasabah mendorong peserta didik untuk selalu mengevaluasi diri, mengenali kekuatan dan kelemahan, serta terus berusaha memperbaiki diri. Buku ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana pendidikan Islam yang berbasis pada psikologi dapat membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki keimanan yang kuat dan akhlak yang mulia. Syihabuddin berhasil menyusun buku ini dengan jelas dan sistematis, memberikan wawasan yang sangat berharga bagi pendidik, akademisi, dan siapa saja yang tertarik memahami konsep pendidikan Islam yang lebih holistik.

RESENSI BUKU

Oleh: Veronica Adev Jacia (Mahasiswa Psikologi Unimma angkatan 2024)

Judul buku: Psikologi Kepribadian (Paradigma Traits, Kognitif, Behavioristik, dan Humanistik)
Penulis: Hamim Rosyidi
Penerbit: Jaudar Press
Kota Terbit: Surabaya
Tahun Terbit: 2015
Edisi: Pertama
Jumlah Halaman: 190 halaman
ISBN: 978-602-18042-2-3

Buku Psikologi Kepribadian karya Hamim Rosyidi memberikan perspektif yang komprehensif mengenai berbagai paradigma dalam psikologi kepribadian, seperti teori traits, kognitif, behavioristik, dan humanistik. Buku ini ditulis untuk menjadi acuan bagi mahasiswa psikologi, khususnya dalam mata kuliah psikologi kepribadian. Dengan pembagian yang jelas, buku ini mendalami setiap paradigma beserta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Hamim Rosyidi menyajikan isi buku ini dengan pendekatan yang sistematis, dimulai dari pengantar tiap paradigma hingga pembahasan detail mengenai struktur dan dinamika kepribadian menurut teori-teori yang dibahas. Misalnya, teori behavioristik yang diuraikan dalam bagian mengenai Operant Reinforcement dari B.F. Skinner, menjelaskan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh penguatan dari lingkungan sekitar.


Buku ini penting karena memberikan pemahaman yang luas tentang bagaimana berbagai paradigma mempengaruhi cara kita melihat kepribadian dan perilaku. Namun, buku ini juga menyadari bahwa teori-teori yang dijelaskan masih terbuka untuk pengembangan lebih lanjut, terutama terkait relevansinya dengan konsep keagamaan yang menjadi tambahan rencana penulis di edisi revisi mendatang.


Operant Reinforcement Theory – B.F. Skinner, bab ini membahas secara mendalam teori penguatan operan yang dikembangkan oleh B.F. Skinner. Skinner berfokus pada perilaku yang dapat diamati dan menolak analisis kepribadian berdasarkan kehidupan internal seperti motif atau dorongan. Menurutnya, perilaku manusia dapat dikontrol dan diprediksi berdasarkan hubungan antara stimulus di lingkungan dengan respons yang diberikan. Bab ini juga menjelaskan perbedaan antara respondent behavior dan operant behavior. Respondent behavior adalah respons yang muncul langsung akibat stimulus tertentu, seperti refleks, sedangkan operant behavior adalah perilaku yang muncul tanpa stimulus spesifik, namun diperkuat atau dilemahkan oleh konsekuensi dari perilaku tersebut. Skinner menguraikan bagaimana penguatan (reinforcement), baik positif maupun negatif, dapat digunakan untuk membentuk perilaku melalui teknik successive approximation atau shaping. Selain itu, bab ini juga membahas schedules of reinforcement, yang menunjukkan bagaimana pola pemberian penguatan dapat memengaruhi frekuensi dan ketahanan perilaku.


Stimulus Response Theory – N.E. Miller & J. Dollard, dalam bab ini, dibahas teori stimulus-respons yang dikembangkan oleh Neal E. Miller dan John Dollard. Teori ini menyatakan bahwa perilaku manusia dan hewan dapat dipahami melalui hubungan antara stimulus (rangsangan) dan respons (tanggapan). Mereka memadukan teori belajar dengan elemen-elemen dari psikoanalisis dan antropologi untuk menjelaskan proses kecemasan, konflik, dan represi dalam diri individu. Miller dan Dollard memperkenalkan konsep drive, cue, response, dan reinforcement sebagai komponen utama dalam proses belajar. Mereka mencontohkan bagaimana dorongan internal (drive) seperti rasa lapar atau rasa sakit, mendorong individu untuk merespon stimuli eksternal dengan perilaku tertentu. Eksperimen-eksperimen mereka juga menunjukkan bagaimana rasa takut yang dipelajari dapat mengarahkan individu pada pembentukan respons baru melalui proses pengkondisian. Bab ini menggambarkan dengan jelas bagaimana kebiasaan atau habit terbentuk dan bagaimana individu dapat mengubahnya melalui reinforcement.


Social Learning Theory – Albert Bandura, bab ini menguraikan teori pembelajaran sosial yang dipopulerkan oleh Albert Bandura. Bandura menekankan bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi melalui pengalaman langsung, tetapi juga melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain, yang dikenal sebagai observational learning. Ia memperkenalkan konsep reciprocal determinism, yaitu interaksi timbal balik antara kognisi, perilaku, dan lingkungan. Bandura juga menjelaskan konsep self-efficacy atau keyakinan diri dalam kemampuan untuk mengendalikan situasi dan mencapai tujuan. Selain itu, ia memperkenalkan prinsip self-regulation, yaitu kemampuan individu untuk mengontrol perilaku mereka sendiri melalui pengaturan diri dan penetapan tujuan. Bab ini menunjukkan bahwa perilaku manusia tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan atau dorongan internal, melainkan merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor internal dan eksternal.


Traits Theory – Gordon Allport, Gordon Allport dalam bab ini memperkenalkan teori traits yang melihat kepribadian sebagai kumpulan sifat atau ciri khas (traits) yang relatif konsisten dan stabil sepanjang waktu. Traits ini merupakan struktur neuropsikis yang menentukan bagaimana seseorang berperilaku dalam berbagai situasi. Allport membedakan antara common traits yang dimiliki oleh semua orang dalam suatu budaya, dan personal dispositions yang lebih unik pada individu tertentu. Bab ini juga membahas perbedaan antara cardinal traits yang mendominasi kehidupan seseorang, central traits yang menjadi ciri utama kepribadian, dan secondary traits yang lebih spesifik dan terbatas pada situasi tertentu. Allport menekankan bahwa meskipun traits ini relatif stabil, mereka dapat bervariasi dalam intensitas tergantung pada konteks sosial dan pengalaman individu.


Factor Analysis – Raymond Cattell & Hans Eysenck, dalam bab ini, teori traits Cattell dan Eysenck dibahas melalui pendekatan analisis faktor. Raymond Cattell menggunakan analisis faktor untuk mengidentifikasi source traits atau ciri dasar kepribadian, yang mendasari perilaku manusia, berbeda dari surface traits yang lebih kasat mata. Cattell mengembangkan model kepribadian 16PF yang mencakup 16 faktor kepribadian utama. Sementara itu, Hans Eysenck berpendapat bahwa kepribadian terdiri dari hirarki sifat yang dibangun dari respons spesifik, habitual, hingga traits yang lebih umum dan tipe kepribadian. Eysenck mengusulkan tiga dimensi utama kepribadian: Extraversion-Introversion, Neuroticism-Stability, dan Psychoticism. Bab ini menjelaskan bagaimana kedua teori tersebut mengklasifikasikan dan mengukur kepribadian secara ilmiah, dengan menggunakan pendekatan yang lebih kuantitatif dibanding teori kepribadian tradisional.


Holism & Humanism – Abraham Maslow, bab ini membahas pandangan Abraham Maslow tentang kepribadian yang didasarkan pada pendekatan holistik dan humanistik. Maslow percaya bahwa setiap individu memiliki potensi untuk mencapai aktualisasi diri, yaitu pencapaian tertinggi dari perkembangan pribadi. Ia terkenal dengan teorinya tentang hierarchy of needs, yang menjelaskan bahwa kebutuhan manusia terbagi menjadi beberapa tingkatan, mulai dari kebutuhan fisiologis dasar seperti makanan dan tempat tinggal, hingga kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri. Maslow juga menekankan pentingnya kebutuhan akan cinta, penghargaan, dan rasa memiliki sebagai faktor penting dalam perkembangan kepribadian. Bab ini menunjukkan bagaimana pendekatan humanistik Maslow berbeda dengan pendekatan behavioristik dan psikoanalisis yang lebih deterministik, karena lebih menekankan kebebasan individu dan potensi pertumbuhan positif.


Phenomenology, Person-Centered Theory – Carl Rogers, Carl Rogers, sebagai pendiri teori yang berfokus pada individu, menekankan pentingnya pengalaman subyektif dalam membentuk kepribadian. Bab ini menjelaskan bagaimana Rogers mengembangkan konsep self-concept, yaitu cara individu memandang dirinya sendiri. Menurut Rogers, ketidakseimbangan dalam kepribadian dapat terjadi ketika ada perbedaan antara real self (diri nyata) dan ideal self (diri yang diinginkan). Rogers juga memperkenalkan konsep unconditional positive regard atau penerimaan tanpa syarat, di mana individu merasa diterima sepenuhnya tanpa syarat, yang sangat penting dalam proses pertumbuhan pribadi. Bab ini membahas relevansi pendekatan fenomenologis dalam terapi dan bagaimana pandangan Rogers mengarah pada pengembangan terapi yang berpusat pada klien.


Personology – Henry Murray, bab ini menjelaskan teori kepribadian Henry Murray yang dikenal dengan nama personology. Murray berpendapat bahwa kepribadian adalah kombinasi dari kebutuhan (needs) dan tekanan (press) dari lingkungan. Setiap individu memiliki serangkaian kebutuhan, seperti kebutuhan akan prestasi, kekuasaan, atau afiliasi, yang mempengaruhi perilaku mereka. Murray juga memperkenalkan thematic apperception test (TAT), sebuah metode untuk memahami motivasi dasar seseorang dengan meminta mereka menceritakan cerita berdasarkan gambar yang ambigu. Bab ini menguraikan bagaimana kepribadian berkembang dari interaksi antara dorongan internal dan faktor eksternal, serta bagaimana tes proyektif digunakan untuk mengungkap motivasi tersembunyi dalam kepribadian.


Kelebihan dari buku ini adalah kemampuannya menyatukan berbagai teori yang kadang terkesan terpisah menjadi satu rangkaian yang saling melengkapi. Meskipun begitu, bagi pembaca yang tidak familiar dengan istilah teknis dalam psikologi, buku ini mungkin memerlukan pemahaman lebih lanjut karena beberapa bagian membutuhkan latar belakang pengetahuan dasar dalam psikologi.


Secara keseluruhan, Psikologi Kepribadian karya Hamim Rosyidi adalah buku referensi yang sangat bermanfaat bagi mereka yang tertarik untuk memahami lebih dalam tentang kepribadian manusia dari berbagai pendekatan.

Di Terjang Badai

Aku di terjang badai, rasanya aku akan segera larut dan tenggelam dalam dingin yang tak kunjung usai, semakin dalam, semakin kelam, sakit dan menyiksa ku setiap Malam Aku di terjang badai, di tengah laut tak mampu lagi untuk berenang, ku pastikan aku akan tenggelam, rasanya aku akan menghilang dengan luka yang Lebam Seiring waktu aku tumbuh, jiwaku semakin rapuh, berkali-kali aku terjatuh, mengejar bahagia yang seketika runtuh kala mengingat masa lalu yang perlahan Membunuh Meski sering ku coba untuk bangkit, melawan semua rasa sakit, menyembunyikan luka dari ingatan pahit, namun tetap saja sungguh terasa sulit, bahkan tak lagi bisa memejamkan mata hingga menunggu matahari Terbit Jika ditanya, apa hal yang paling aku rindukan? aku akan jawab kasih sayang, rasa aman, dan Pertolongan Jika ditanya, apa hal yang paling aku takutkan? aku akan jawab dinginnya malam, sendirian, dan Kepergian Aku sudah lama tak disini, tubuhku masih berdiri, jiwaku sudah lama mati, belasan tahun aku sembunyi pada luka yang tak kunjung sembuh Sendiri Aku ingin sekali sampaikan, aku ingin kembali dan selamatkan anak kecil yang tak bersalah, yang memendam semuanya sendiri, yang menanggung beban hingga saat ini, yang tak pernah percaya bahwa badai akan usai dan berhenti

“Nama nya juga hidup”

kunamai pupil indahmu.kusebut kenari kunci qalbu ku sebut kenang di hatiku agar ramai padika aksara walau jauh lama tak jumpa,jelita mu sangat terkenang di dalam dada tapi aku pamit agar enyah cinta kita yang rumit pergi dan taati orang rumah karena cinta yang baik itu tak lah menjarah abdi nan bakti kejar asmara illahi bagai angin yang menerbangkan debu,kau kubawa terbang agar kau hinggap di suatu,agar kau menemui singgasanamu sebagai ratu kan ku tatap aksamu,dan kupaksa amertaku melupakanmu,”ngopi 3 gelas”Magelang kota sangat panas,